Akhirnya aku sampai di Negeri Seribu Menara
3:32 PM Edit This 4 Comments »Namaku Elsadila Dhini Hanima, aku anak tertua dari empat bersaudara. Ayahku bernama Drs.H.M.Nuruddin .T dan ibuku bernama Dra.Hj.Novri Hartini. Aku lahir di Kotagede 24 juni 1989, di kota ini pula aku menghabiskan masa kecilku. TK Aba Musholla menjadi sekolah pertamaku, dilanjutkan di SD Muh.Bodon, tamat tahun 2001. Dan pada tahun ini pula aku dipaksa oleh orang tuaku untuk melanjutkan studi ke Pondok Pesantren Gontor Putri 1.
Sungguh kukatakan itu adalah sebuah keterpaksaan, karena saat itu dunia pesantren gelap bagiku. Bagaimana mungkin aku sekecil ini harus berpisah dengan orang tua dan adik-adik yang aku cintai, serta sahabat-sahabatku di kampung dan SD tercinta. Namun orang tua tak mau mengerti perasaanku dan tetap memaksa untuk studi disana. Masih teringat jelas kata-kata ibu pada saat itu, “Kalau kamu mau sekolah, maka sekolah di Gontor, atau tidak sama sekali.”
Sesampainya di Gontor, aku mendapatkan semua hal baru disana, jauh dari kesenangan masa kanak-kanak, segalanya serba diatur dengan keras tanpa kompromi. Mau makan harus antri, mau mandi harus antri, mau apapun serba antri. Berbagau hukuman bagi para pelanggar disiplin atau bagi yang tidak mengikuti peraturan, selalu menghantui dari bangun tidur hingga tidur kembali. Pada masa awal belajar di sana, aku sama sekali tidak betah, setiap hari hanya menangis dan memohon untuk bisa keluar dari pondok.
Sementara ibuku, sering datang menjenguk dan memberi semangat selalu. Tapi aku tetap tidak betah dan tertekan. Sehingga aku seringkali sakit, bahkan pernah sakit parah. Tapi, apa jawaban ibu ketika kumengadu padanya? “Ibu … aku bisa mati bila tetap disini!
“Anakku … kamu telah ibu wakafkan di jalan Allah, apapun yang terjadi, apabila Allah yang berkehendak maka itulah yang terbaik untukmu. Bertahanlah nak ! Sesungguhnya sebaik-baiknya pelindung dan penolong bagimu adalah Allah bukan ibu”.
Perlahan kata-kata lembut ibu memasuki telingaku, namun tetap tak bisa ditawar.
Walaupun dengan sedikit keterpaksaan, aku tetap melanjutkan sekolah di Gontor. Semakin lama disini, aku semakin tahu betapa banyak ilmu yang kudapat, tidak mungkin kudapatkan di tempat lain, yaitu ilmu kehidupan. Bagaimana mengatasi diri dengan fasilitas yang serba minim, tapi di tuntut untuk selalu berprestasi.
Hidup bersama ribuan santriwati dari berbagai belahan dunia, bukanlah hal yang mudah bagiku, pastinya rawan konflik. Namun semua itu membuatku tumbuh menjadi pribadi yang tegar dan tahan terhadap ujian, baik senang maupun susah. Enam tahun lamanya aku menghabiskan hidup di Gontor, dan akhirnya pada tahun 2007 aku dapat menamatkan studiku di Gontor.
Lulus dari Gontor aku meneruskan pengabdian di Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim. Di sanalah aku mengajar serta mempraktekkan segala hal yang telah aku dapatkan selama enam tahun di Gontor. Selama masa mengabdi, timbullah keinginan untuk melanjutkan kuliah di Al-Azhar Kairo. Meski rasa pesimis timbul dikarenakan hafalan Qur’an yang sedikit, namun aku tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menambah hapalan sedikit demi sedikit.
Pernah terbersit dalam pikiranku akan kemampuan untuk menginjakkan kaki di negeri Seribu Menara. Sebuah Negeri yang menyimpan sejuta keunikan, yaitu Mesir. Negeri para nabi yang membuatku berharap dapat menelusuri jejak para anbiyaa utusan-utusan Allah. Serta dapat merasakan menempa ilmu di universitas Islam yang tertua di dunia. Universitas Al-azhar yang sudah sekian ratus tahun umurnya dan selama ini selalu dijadikan kiblat para mahasiswa yang haus akan ilmu. Inilah sebuah negeri yang menjadi incaranku sejak lulus di Gontor putri.
Seleksi ujianpun aku ikuti dengan penuh khidmat, azzamku yang kuat membuatku tak pernah mati semangat dan kehilangan arah tujuan. Kuhabiskan waktu seharian bersama ibuku, ibu yang setia menemaniku tes demi tes yang aku lalui, dan beliau juga yang setiap malam menjaga hafalanku, yang tak pernah letih menemani serta membimbingku. Ketulusannya menemaniku saat hari- ujian, membuat semangatku berkobar. Aku harus lulus dalam ujian ini….!!!
Keyakinan mengalahkan segalanya, itulah hikmah yang dapat aku petik. Hidup memang tak pernah mulus, selalu ada kerikil yang menghalangi langkah kita. Bagaimana seseorang dapat melewati kerikil-kerikil itu dengan penuh kesabaran. Sabar adalah kunci utama keberhasilan hidup. Doaku siang dan malam, serta doa orang-orang yang mencintaiku mulai di dengar oleh Allah SWT.
Tiba-tiba telepon genggamku berdering, salah seorang sahabatku memberi kabar bahagia akan kelulusanku. Haru biru tangis kebahagiaan mewarnai kelulusanku, orang tuakupun tak percaya akan hal ini. Terimakasih ya Allah …
Proses keberangkatanku ke Mesir bukanlah proses yang singkat, ketidakjelasan akan visa yang akan turun dari Dubes Mesir harus aku hadapi. Semua itu menghantui pikiranku, akankah aku berangkat?? Ketidakjelasan akan keberangkatan membuat diriku resah, keresahan itupun dirasakan oleh kedua orang tua. Namun, di balik keresahan itu aku dapat memetik sebuah hikmah berharga dalam hidup.
Hari-hari penantian yang membuatku harus menganggur, kini kuisi dengan kegiatan menghafal Al-Qur’an di salah satu pondok salaf Jogjakarta. Dua bulan aku habiskan dengan pengabdian diri kepada Al-Qur’an, aku yakin bahwa Allah mencintai para pecinta Al-Qur’an. Beberapa rintangan harus kulewati, namun disitulah aku menemukan sejuta makna dan hikmah dari itu semua.
Bandara Sukarno Hatta telah menjadi saksi hidup awal perjalananku ke Mesir, di situlah aku dilepas. Tangis kebahagiaan menyelimuti suasana keberangkatanku. Tepat pada tanggal 25 Maret 2009, adalah hari paling bersejarah dalam hidupku. Semuanya seolah seperti mimpi, sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. “EGYPT I’m coming ….!!!” kalimat pertama yang terucap dari bibirku. Semoga Allah selalu bersama mengiringi langkah kami dalam menuntut ilmu hingga kami kembali. Amin …
Aku mulai menikmati anugrah Illahi yang tak semua orang mendapatkannya. Di Negeri Seribu Menara inilah aku baru akan memulai perjalanan hidup yang baru. Satu setengah tahun aku menjalani kehidupan di Mesir, hingga akhirnya aku diberi kesempatan untuk berlibur ke Indonesia.
Walaupun masa mudaku tidak banyak di kampung sendiri, Purbayan. Namun teman-teman di kampung menyambut akan kehadiranku. Mereka memberiku kesempatan untuk bergabung dalam kegiatan remaja Masjid. Hal yang paling mengesankan bagiku, adalah ketika RENUHA (Remaja Masjid Nurul Huda) mengadakan acara buka bersama Panti Asuhan Yatim An-Nur.
Sungguh sebuah kegiatan yang positif untuk saling berbagi bersama anak-anak yatim. Dengan penuh semangat para pemuda-pemudi di kampung purbayan mensukseskan acara ini. Anak-anak pantipun terlihat begitu bahagia ketika rombongan dari RENUHA dan anak-anak masjid Nurul Huda datang. Sungguh sebuah kegiatan yang sangat positif untuk selalu di lestarikan.